Saturday 3 December 2016

#031216TM3 - Strategi Transportasi Laut

UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea)




Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958.

Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai laut teritorial (pasal 16 ayat 1). 

Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif (Pasal 75 Ayat 1).

Ketiga, untuk landas kontinen (pasal 84 ayat 1)

Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu,
  1. Perairan Pedalaman (Internal waters),
  2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,
  3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
  4. Zona tambahan ( Contingous waters),
  5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
  6. Landas Kontinen (Continental shelf),
  7. Laut lepas (High seas),
  8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).


ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia)



Dengan telah diberlakukannya UNCLOS, Indonesia diakui sebagai negara kepulauan yang utuh sesuai pada Bab IV UNCLOS 1982, yang isinya tentang prinsip dan ketentuan Hukum Internasional, yang melandasi ‘suatu negara kepulauan dipandang sebagai sesuatu kesatuan wilayah negara yang utuh’. Sebagai konsekuensinya, maka Indonesia diwajibkan memberikan akses hak lintas damai sesuai dengan UNCLOS 1982 pasal 53 ayat 9, yang isinya ‘’...dalam menentukan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, suatu negara kepulauan harus mengajukan usul kepada organisasi internasional yang berwenang dengan maksud untuk diterima...’’ Sesuai dengan ketentuan itu, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menyediakan jalur ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia)


Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah Alur laut yang ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing diatas laut tersebut untuk dilaksanakan pelayaran dan penerbangan damai dengan cara normal. Penetapan ALKI dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat terselenggara secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan ruang udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Semua kapal dan pesawat udara asing yang mau melintas ke utara atau ke selatan harus melalui ALKI.



Adapun alur laut kepulauan yang rnelalui perairan Indonesia tersebut adalah sebagai berikut: 
  • ALKI I : Selat Sunda – Selat Karimata – Laut Natuna – Laut Cina Selatan
  • ALKI II : Selat Lombok – Selat Makassar – Laut Sulawesi
  • ALKI III-A : Laut sawu – Selat Ombai – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – LAut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik
  • ALKI III-B : Laut Timor – Selat Leti – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – Laut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik
  • ALKI III-C : Laut Arafuru – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – Laut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik

Peraturan/Undang-Undang mengenai ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yaitu:
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647);
  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4209);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Yang Ditetapkan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4210);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5093);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5108) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5109);
  9. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1979 tentang Pengesahan Peraturan Internasional tentang Pencegahan Tubrukan di Laut Collision Regulation 1972;
  10. Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980 tentang Pengesahan "International Convention for the Safety of Life at Sea 1974";
  11. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
  12. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 173/ ALAO1/ PHB-84 tentang Berlakunya The !ALA Maritime Bouyage Sistem Untuk Region A Dalam Tatanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran di Indonesia;
  13. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM30 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Distrik Navigasi;
  14. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 60 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan;
  15. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 62 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Unit Penyelanggara Pelabuhan;


ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia)


Indonesia berhak dan telah menetapkan ZEE-nya selebar 200 mil dari garis-garis pangkal nusantara (Pasal 48 dan 57). Dalam ZEE, Indonesia mempunyai:
  1. Sovereign rights atas seluruh kekayaan alam yang terdapat di dalamnya
  2. Hak dan kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan dalam konvensi.
  3. Yurisdiksi untuk: 
  • Mendirikan, mengatur dan menggunakan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan banguna n-bangunan lainnya (Pasal 56 dan 60)
  • Mengatur penyelidikan ilmiah kelautan
  • Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
Di ZEE, negara-negara lain mempunyai: 
  1. Kebebasan berlayar dan terbang 
  2. Hak meletakkan kabel dan pipa-pipa, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum laut tentang Landas Kontinen dan ZEE
  3. Kebebasan-kebebasan laut lepas yang disebut dalam pasal 88 sampai 115, yang  mencakup berbagai bidang yang ada hubungannya dengan kapal dan pelayaran;
  4. Akses terhadap. surplus perikanan yang tidak dimanfaatkan oleh negara pantai.

DEKLARASI DJUANDA


Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desmber 1957 oleh Perdana Mentei Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tetapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
  1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
  2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
  3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan : 
  • Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
  • Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan
  • Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI

No comments:

Post a Comment